Ya Kayuku, Ya Kayumu
Oleh: Luthfi Bashori
Konon menurut shahibul hikayat, di jaman penjajahan
Jepang pernah terjadi suatu keajaiban. Saat itu, ada seorang petani yang aktif
shalat di sebuah mushalla dekat perkampungan. Sekali pun ia bukanlah penduduk
desa itu, namun ia memiliki sebidang tanah sawah yang berada di wilayah
tersebut.
Karena itulah hampir setiap Dhuhur dan Ashar petani
itu selalu meluangkan waktunya shalat di mushalla itu, bahkan karena keaktifannya,
maka warga setempat menunjuknya sebagai imam shalat khusus Dhuhur dan Ashar.
Sebenarnya, petani itu bukanlah ahli ilmu agama, namun
karena kondisi masyarakat di jaman itu cukup mengenaskan, baik dari segi
keilmuan, perekonomian maupun keamanan, maka karena keadaanlah memaksa mereka
untuk memanfaatkan apa saja yang dianggap maslahat tanpa harus meninjau
syarat-syarat ideal, termasuk dalam mengangkat imam shalat Dhuhur dan Ashar.
Di sisi lain, kaum lelaki di kampung itu kebanyakan
adalah para pejuang kemerdekaan, sehingga bukan urusan gampang mencari kaum
lelaki yang senantiasa stand by di kampung halamannya, karena mereka harus
bergerilya dan selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, masuk
hutan keluar hutan, demi menyusun strategi menghadapi dan menyerang penjajah
Jepang.
Suatu saat, ada serombongan gerilyawan yang berlarian
menuju mushalla kampung tersebut. Rupanya mereka sedang dikejar tentara Jepang.
Sangat kebetulan, di saat yang bersamaan si petani itu sedang mengimami shalat
Dhuhur. Maka kontan para gerilyawan bergabung shalat berjamaah, sekaligus untuk
menghilangkan jejak dari kejaran tentara Jepang.
Sayangnya barisan tentara Jepang itu tetap mencurigai
para jamaah shalat Dhuhur di mushala itu, dan menghitungnya sebagai para pejuang
yang sedang mereka kejar, maka tanpa ba-bi-bu, tiba-tiba tembakan demi tembakan
meletus dan diarahkan kepada para jamaah shalat.
Tentu saja banyak para jamaah yang bergelimpangan mati
syahid, sedangkan mereka yang tidak terkena peluru, secara refleksi menggunakan
trik menjatuhkan diri pura-pura mati, agar tidak menjadi sasaran tembak
berikutnya.
Lain halnya dengan si petani yang menjadi imam shalat,
ia dengan khusyu` terus menyelesaikan shalatnya, hingga tentara Jepang itupun
membrodongkan tembakannya ke arah si petani yang menjadi imam shalat. Anehnya,
si petani itu tetap istiqamah dalam shalatnya tanpa terpengaruh apapun, hingga
akhirnya tentara barisan Jepang beranjak meninggalkan si petani di saat sedang
membaca salam pada tahiyyat akhir.
Peristiwa ini sangat mengejutkan para pejuang yang
masih hidup. Maka Mereka beramai-ramai menanyakan ajian apa yang digunakan oleh
si petani hingga dirinya tidak mempan ditembak.
Dengan polos, si petani mengatakan bahwa konon ia
mendapat ijazah dari seorang Kiai yang kebetulan sedang mengajar di kampung
tempat tinggalnya, yaitu agar setiap usai shalat fardlu hendaklah selalu
membaca : YA KAYUKU YA KAYUMU sebanyak seratus kali, dan jika berada dalam
keadaan darurat/genting maka hendaklah dibaca sebanyak-banyaknya tanpa hitungan
tertentu. Karena itulah si petani selalu istiqamah membacanya dengan penuh
keyakinan `seyakin-yakinnya`, sehingga dalam keadaan darurat tadi si petani
merasa dirinya menjadi seperti KAYU yang tidak mempan ditembak.
Kebetulan ada salah seorang dari kalangan pejuang yang
masih hidup itu, konon adalah alumni sebuah pesantren. Maka dengan sedikit
senyum ia ingin mengoreksi bacaan sang petani yang merangkap jadi imam shalat
> Lantas dengan nada lembut dan hormat alumni pesantren itu mengatakan: Pak,
mohon maaf, barangkali bacanya yang benar itu adalah YA HAYYU YA QAYYUM, karena
yang bapak baca itu adalah termasuk Asmaul Husna, yaitu nama-nama Allah, bukan
YA KAYUKU YA KAYUMU, hingga badan bapak berubah menjadi KAYU.
Karena keawwaman si petani, ia hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepala, sedangkan lisan awwamnya tetap saja membaca YA
KAYUKU YA KAYUMU dengan penuh keyakinan, hal ini karena lisannya sudah terbiasa
dengan bacaan itu.
Berbeda dengan alumni pesantren tersebut, ia pun
berusaha mengamalkan bacaan YA HAYYU YA QAYYUM seperti yang diamalkan si
petani, bahkan lisannya jauh lebih baik dan lebih fasih saat membacanya. Hanya
saja dari segi keyakinan saat mengamalkan ijazah itu, masih di bawah standar
keyakinan si petani awwam tadi.
Hingga suatu saat, terjadi lagi peristiwa yang hampir
sama, bahwa para gerilyawan itu kembali dikejar-kejar tentara Jepang dan
dibrondong peluru. Namun karena nasib yang berbeda, alumni pesantren yang fasih
mengucapkan YA HAYYU YA QAYYUM itu pun akhirnya mati syahid tertembak peluru
tentara Jepang. Innalillahi wa inaa ilaihi raaji`un.
Penyair mengatakan :
Idzil fataa hasba`tiqaadihi rufi` # wakullu man lam
ya`taqid lan yantafi`
Seseorang itu akan diangkat derajatnya sesuai kadar
keyakinannya, siapa yang tidak yakin terhadap sesuatu, ia tidak akan dapat
mengambil manfaatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar